7 Hal Ini Dialami Ibu dengan Anak Berkebutuhan Khusus

 Halo,

Selamat hari Keluarga Nasional, Ibu dan Ayah!

Di peringatan hari Keluarga Nasional yang ke-27 ini, saya ingin ngobrolin tentang beberapa hal yang dialami oleh orang tua dengan anak berkebutuhan khusus. Mumpung nggak jauh dari hari Keluarga Nasional yang mengingatkan kita betapa pentingnya kekuatan keluarga dalam membangun bangsa dan negara. 

Seperti yang kita ketahui, keluarga adalah perisai kekuatan dalam menghadapi tantangan di kemudian hari. Nah, bagaimana ketika salah satu anggota keluarga kita terlahir istimewa? Kira-kira apa sih yang mereka alami?’

Yuk, kita simak.

Seperti yang sudah sering saya ceritakan, anak kedua saya, Altaz, didiagnosis ADHD sekitar empat tahun yang lalu. Awal mengetahui diagnosis itu, tidaklah mudah. Saya sempat menyalahkan diri sendiri. Eh, ketika ngobrol dengan ibu-ibu lain yang bernasib sama, rupanya mereka juga pernah mengalami apa yang saya alami. Bahkan, menurut psikolog keluarga Arijani Lasmawati, S.Psi., M.Psi.,Psikolog, hal ini sebetulnya normal dan dialami hampir semua orang tua dengan anak berkebutuhan khusus (ABK).


Selain menyalahkan diri sendiri, hal apa lagi yang dialami ibu dengan anak berkebutuhan khusus? Inilah yang sempat saya alami dan rekam, 7 Hal Ini Dialami Ibu dengan Anak Berkebutuhan Khusus. 


1. Menolak Kenyataan atau Denial

“Ah, masa sih, Dok?”

“Kok bisa ya, Dok?”

“Kelihatannya anak saya baik-baik saja kok, Dok.”




Meski sudah punya firasat ada sesuatu yang “salah” selama proses tumbuh kembang anak, tetap saja saat menerima “vonis” atau diagnosis dari dokter, kami sempat denial atau menolak diagnosis tersebut. Kalimat-kalimat di atas pasti pernah terucap atau berkelebat di benak para ibu dan ayah. 

Ya, wajar saja ini terjadi. Semua orang tua pasti ingin anaknya baik-baik saja, tumbuh sehat dan cerdas, serta mengalami proses tumbuh kembang yang normal. Ketika kabar itu datang, tentulah mengejutkan. Pasti ada perasaan tidak siap dan menolak apa yang dikatakan dokter atau psikolog klinis. 

Proses denial pada beberapa orang memang berbeda ya, Bu. Ibu atau Ayah bisa mencari second opinion dari dokter lain. Dan jika opini lain ini hasilnya sama, yuk ambil jeda sejenak. Tarik napas dan embuskan perlahan, lalu mari mencoba memahami kenyataan yang ada. Memang tak mudah menghadapi kenyataan, tapi siap tak siap, kita harus kembali tegak berdiri, kuatkan hati dan menghadapi kenyataan yang ada.

Jika Ibu dan Ayah mempunyai kerabat yang sedang berada di tahap ini, yuk bantu menguatkan mereka dengan cara yang positif. Temani mereka dan bantu mereka memahami kenyataan. 


2. Menyalahkan Diri Sendiri

Saya masih ingat betul waktu itu. Saya dan suami duduk di ruangan dokter. Saat dokter menjelaskan tentang kondisi anak kami, tiba-tiba saya berkata, “Ya, Dok, itu salah saya. Saya kurang memberikan stimulus yang dibutuhkan anak saya.”

Saat itu dokter tersenyum dan menggeleng, “Bukan kok, Bu. Ini bukan salah siapa-siapa.”

Perkataan bu dokter memang sedikit menenangkan saya, tapi kalau sudah bertemu dengan toxic people, kambuh lagi, deh. Dan berbulan-bulan kemudian, saya masih tetap menyalahkan diri sendiri. Kalimat-kalimat yang diawali “kalau saja” terus bermunculan di kepala dan hati saya. Rasanya saya ingin memutar waktu dan membenahi letak kesalahan saya. Tapi kan nggak bisa, ya, Bu? 





Meski ini masih perasaan yang wajar, tapi jangan sampai berpengaruh pada pola asuh keseharian kita ya, Bu. Karena menyalahkan diri terus menerus dikhawatirkan bisa menimbulkan perasaan cemas dan sedih. Kalau sudah sedih, bisa-bisa akan berpengaruh pada sikap kita sehari-hari. 

Yang dikatakan dokter, itu betul sekali, Bu. Bahwa keadaan ini bukan salah siapa-siapa. Bukan pula artinya Ibu sekeluarga sedang mendapat “hukuman” dari Allah, bukan begitu. Atau, bukan juga karena ananda bernasib buruk. Ini adalah kondisi “istimewa” yang memang harus dihadapi. Memang akan membutuhkan banyak stok sabar dan kekuatan, tapi kita pasti bisa menghadapi ini. 


3. Penerimaan dan Pencarian Solusi

“Yaa, mau gimana lagi?

“Kita coba dulu, deh. Mudah-mudahan memang bisa membaik.”

“Apa sih ADHD itu? Bagaimana terapi yang tepat?”





Ada yang pernah mengalami hal serupa? Penerimaan adalah proses lanjutan setelah sempat denial dan merasa bersalah. Penerimaan pun akan mengalami proses yang sangat panjang, karena semakin naik level, semakin besar pula penerimaan yang diperlukan. Saran saya, nikmati setiap prosesnya, apa pun keadaannya…syukuri. 

Dengan menerima dan memahami kenyataan yang ada, akan mudah bagi kita untuk segera mendapatkan bantuan bagi buah hati. Anak berkebutuhan khusus juga berhak, loh, mendapatkan treatment yang sesuai dengan kebutuhannya. Kalau Ibu dan Ayah masih terus berada di fase denial, buah hati pun tak kunjung mendapat treatment yang bisa menjadi bekal untuknya dalam menjalani kehidupannya kelak.


4. Kelelahan

Siapa yang setuju bahwa menjadi ibu untuk anak berkebutuhan khusus tidaklah mudah. Selain harus menghadapi buah hati yang kadang bertingkah atau melting down atau tantrum, kami juga harus menghadapi dunia yang terkadang judgemental.

Selain menguras tenaga dan waktu, mengurus anak berkebutuhan khusus juga membuat ibu mengalami kelelahan emosi. Ya kan, Bu?




Meski Ibu ikhlas mengurus buah hati, tapi Ibu juga harus mengurus diri sendiri. Jangan lupa untuk membahagiakan diri sendiri. Dengan begitu, Ibu masih punya banyak stok sabar untuk menjalani hari. Ibu yang bahagia akan bisa menangani keluarga dengan baik. 

Bicaralah pada suami, mintalah jeda untuk mengurus diri sendiri. Beri waktu untuk diri sendiri agar bisa mengatur perasaan dan waktu. Jangan lupa menyempatkan diri untuk olah raga, istirahat dan makan dengan teratur.


5. Tidak Percaya Diri

Jujur saja, saya pernah dihinggapi rasa tidak percaya diri ketika harus berhadapan dengan ibu-ibu yang lain. Saya merasa saya akan mendapat penghakiman dari ibu-ibu yang lain karena keadaan anak saya. Saya juga merasa bahwa mereka tidak bisa menerima saya dengan segala kondisinya. 


Untuk beberapa saat, saya memang menghindari berhubungan dekat dengan mereka. Sekadar menyapa dan bertanya kabar, lalu saya akan menghindar. Begitu terus, sampai akhirnya saya sadar bahwa saya juga membutuhkan ngobrol dengan lain. Akhirnya saya memberanikan diri dan saya pakai kesempatan tersebut untuk mengenalkan pada mereka tentang apa itu ADHD.




Adalah hal yang wajar ketika kita berada di titik tidak percaya diri dengan keadaan yang ada. Bukan berarti kita tidak bersyukur, bukan. Tapi terus-terusan membatasi diri juga tidak baik untuk kesehatan mental kita. Sebaliknya, dengan bertemu teman dan kerabat, atau orang baru, kita mempunyai kesempatan untuk memperluas pengetahuan tentang kondisi anak kita. Atau kita bisa menggunakan kesempatan tersebut untuk mengenalkan kondisi anak kita pada mereka. 


6. Cemas

Semua orang tua pasti pernah mengalami rasa cemas, apalagi orang tua dengan anak berkebutuhan khusus, terutama para ibu. Kenapa kebanyakan para ibu yang mengalami hal ini? Karena ibulah yang biasanya terlibat aktif dalam tumbuh kembang buah hati. Ibu pula yang berhadapan dnegan dokter, psikologis klinis, terapis dan lingkungan. Dari sinilah muncul rasa cemas akan tumbuh kembang buah hati dan bagaimana masa depannya kelak.



Meski hal ini wajar dirasakan, tapi sebisa mungkin kelolalah rasa cemas tersebut, Bu. Rasa cemas yang berlebih bisa berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental Ibu. Rasa cemas pula yang membuat kita tidak berkembang dan layu. Mau tak mau, kita harus belajar melepaskan dan menerima. 

Pengalaman saya, rasa cemas ini sama dengan proses penerimaan yang tadi kita bahas. Akan terus berkembang dan berproses seiring dengan proses tumbuh kembang dan kemajuan yang dihasilkan buah hati. Mengelola rasa cemas bisa membuat progress yang signifikan pada tumbuh kembang anak, loh.


7. Kesulitan Mencari Waktu untuk Diri Sendiri

Ini tipikal ibu dengan anak berkebutuhan khusus ya, Bu, hihihi. Ada sisi lain dari hati kita yang ingin terus mendampingi, melindungi dan terlibat aktif dalam proses tumbuh kembang anak. Tapi ada sisi lain dari kita yang terkadang ingin menyendiri, mengambil jeda, me-recharge energi dan melakukan hal-hal yang membuat kita bahagia. Melakukan hobi di akhir pekan atau waktu senggang, misalnya. 




Jadwal terapi dalam sepekan memang tak bisa dilewatkan begitu saja. Apalagi ditambah dengan home programe juga harus dilakukan agar anak kita stay on track. Belum lagi mengelola urusan domestik, karir dan tentu saja anggota keluarga lain. Orang tua dengan anak berkebutuhan khusus hampir tak punya waktu untuk dirinya sendiri. 

Ayo, Ibu, Ayah, meski tak mudah, luangkan waktu sejenak untuk melakukan hal-hal sederhana yang membuat kita rileks dan bahagia. Fokus pada perkembangan terapi anak kita memang diperlukan, namun kita juga membutuhkan waktu untuk sendiri. Dan bukan berarti kita abai pada proses tumbuh kembang anak kita, bukan. 

Apalagi, ternyata, membiarkan anak-anak sejenak tanpa pengawasan langsung akan memicu kemandiriannya. Pelan-pelan, ajari anak untuk mandiri sehingga intuisinya lambat laun akan terasah. Ingat, kita tidak bisa mendampingi anak-anak secara terus menerus. Mereka akan bertumbuh, berhadapan dengan dunianya sendiri dan ada waktunya kita hanya bisa mengawasi dari kejauhan. 


Nah, itu dia tujuh hal yang dialami Ibu dengan anak berkebutuhan khusus. Sekarang Ibu sudah tahu kan bahwa ternyata hal-hal di atas termasuk hal yang wajar dirasakan? Namun ada beberapa catatan yang harus Ibu tahu. Asal tidak berlebihan dan tidak terjadi secara jangka waktu yang panjang, Ibu dan Ayah tidak perlu khawatir. Kalau memang dirasa cukup mengganggu, Ibu atau Ayah sebaiknya berkonsultasi dengan psikolog keluarga. 

Atau, Ibu dan Ayah bisa membuka artikel di Ibu Pedia di sini . Banyak artikel yang bisa membantu Ibu dan Ayah membersamai buah hati dalam tahap tumbuh kembang. Salah satunya adalah artikel berikut 5 Tips Membangun Keluarga yang Solid

Selamat membaca!

Sampai jumpa di artikel tentang parenting dengan anak berkebutuhan khusus ya, Bu. Jangan lupa taati prokes, jaga kesehatan dan tetaplah menjadi Ibu yang bahagia. Salam untuk buah hati.


Salam,


Dyah Prameswarie


Catatan: 

- Ibu Pedia bisa diakses lewat ibupedia.com atau Instagram https://www.instagram.com/ibupedia_id/    Juga di Facebook https://www.facebook.com/ibupedia

- Untuk artikel lainnya terkait ADHD, Ibu dan Ayah bisa mengaksesnya di Tulisan Bertema ADHD




Komentar