Fintech Ilegal Mengintai Kita



I believe that through knowledge and discipline, financial peace is possible for all of us

Dave Ramsey

Suatu malam setelah selesai makan malam, suami menyodorkan ponselnya. "Baca, deh," katanya.

Saya meraih ponsel dan membaca berita di layar. Agak terkejut, tapi lega juga sekaligus ngeri. "Duh, kok bisa sampai gini ya?"

"Untung kan waktu itu nggak jadi ambil?" 

Saya mengangguk. 

Illegal Fintech

Berita yang saya baca adalah tentang korban-korban pinjol, alias pinjaman online. Di era digital ini, seolah-olah hidup kita dipermudah. Mau makan, tinggal pesan lewat ponsel. Mau pergi ke suatu tempat, tinggal order melalui ojek online. Dan yang terakhir, ketika kita butuh dana segar atau ingin membeli suatu barang, ya tinggal mengajukan pinjaman online. Aplikasinya BANYAAAK sekali di App Store.

Nah, inilah yang dinamakan Financial Technology atau disingkat FINTECH. Yang iklannya nongol setiap kali saya main game Garden Escape atau yang lainnya, hehehe. Sebegitu seringnya, sampai-sampai suatu hari saya ingin menggunakan 'jasa' fintech ini. Sudah mengunduh, sudah daftar dan melengkapi aplikasi tapi entah kenapa belum tergerak untuk memakainya. Padahal saya sudah kebelet ingin membeli kamera baru. 

Sekarang baru merasa lega atas keputusan saya tersebut. Karena ternyata, kemudahan mengajukan dan mendaatkan pinjol ini malah memakan korban. Banyak dan jadi sorotan publik!

Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti Ngobrol @Tempo yang diselenggarakan di Atmosphere Resort Cafe dengan tema Sosialisasi Program Fintech Peer to Peer Lending: Kemudahan dan Risiko Untuk Konsumen. Acara ini diselenggarakan oleh Tempo dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan).



Acara ini dihadiri oleh bapak Audi Ramzi selaku Staf Dirktorat Pengaturan, Perizinan & Pengawasan Fintech, bapak Iwa Gartiwa selaku Ketua Kamar Dagang dan Industri Kota Bandung, bapak Sigit Aryo Tejo sekalu Head if Micro Business Modalku dan bapak Yefta Surya selaku Direktur Utama PT. Esta Kapital Fintek.

Dari sinilah terluat fakta bahwa ada sekitar 400an perusahaan fintech yang ada di Indonesia dan baru 73 perusahaan yang mendapatkan izin serta terdaftar di OJK. Yang lainnya ilegal! Nah, bahkan kita pun baru tahu.



Bapak Audi pun meminta masyarakat untuk berhati-hati dengan fintech illegal ini. Beliau juga memberikan ciri-ciri fintech illegal berikut ini:


  • Kantor dan pengelola tidak jelas dan sengaja disamarkan keberadaannya.
  • Syarat dan proses pinjaman sangat mudah.
  • Menyalin sleuruh data nomor telepon dan foto-foto dari calon peminjam.
  • Tingkat bunga dan denda sangat tinggi dan diakumulasi setiap hari tanpa batas.
  • Melakukan penagihan online dengan cara intimidasi dan mempermalukan para peminjam melalui sleuruh nomor handphone yang disalin.


Meski dari pihak OJK sendiri sudah memiliki aturan yang bisa mencegah para konsumen untuk tidak terlilit utang, tapi kita masih harus hati-hati karena banyak fitech illegal membuat masyarakat kesulitan untuk membedakan mana yang resmi dan mana yang ilegal.



Untuk terhindar dari hal yang demikian, berikut ini adalah tips meminjam di fintech peer to peer lending:

  • Pastikan meminjam di perusahaan yang terdaftar/berizin OJK.
  • Pinjamlah sesuai kebutuhan dan maksimal 30% dari penghasilan.
  • Lunasi cicilan tepat waktu.
  • Jangan lakukan gaji lubang dan tutup lubang.
  • Ketahuilah bunga dan denda pinjaman sebelum meminjam. 
FYI, meski kasus korban fintech ini masih jadi bahan pembicaraan, tapi sebetulnya fintceh tidak melulu soal hal-hal buruk kok. Bahkan fintech juga membantu perekonomian beberapa nasabahnya.



Begitu ya, silakan disebarkan informasi di atas agar lingkaran kerabat dan pertemanan kita terhindar dari jeratan utang fintech yang ilegal.

Salam,

Dyah

Komentar